Dini ...
Pagi itu aku berjalan menelusuri koridor
sekolah yang tampak sepi. Wajar saja, waktu masih menunjukkan pukul 06.40.
Terlalu awal untuk memulai aktivitas. “Hai Dini, Pagi !” sapa beberapa murid
padaku. “Pagi teman-teman !”. Aku membalas sapaan mereka sambil melambaikan
tangan dan tersenyum ceria. Ya ! Akulah Dini, Dini Riskayanti. Murid kelas X
SMA yang paling gemar membuat majalah dinding. Hampir setiap majalah dinding di
sekolah maupun di rumah tak luput dari karya-karyaku. Ya, aku memang senang
berkreasi, menuangkan setiap karya-karya di dalam sebuah lembaran kertas agar
dapat menjadi inspirasi bagi orang lain.
Pagi ini memang tidak begitu cerah. Tak
terdengar kicauan burung yang dulunya senantiasa mewarnai hariku. Namun aku tetap
bersemangat ke sekolah dengan menjinjing sebuah tas ransel berwarna merah di
pundakku. Dengan langkah gontai bak seorang penari yang sedang beratraksi di
atas panggung, aku berjalan menuju perpustakaan. Perpustakaan dengan cat putih
itu cukup kecil namun masih mampu memuat berbagai jenis buku.
Keadaan terasa hening, di tempat itu aku
hanya melihat Ibu Dian, si penjaga perpustakaan yang memecah keheningan dengan
suara tumpukan buku-buku yang sedang di bereskannya. Aku melangkah mendekati pintu
perpustakaan sambil celingak celinguk. Saat aku menoleh pada pojok
perpustakaan, tampak sesosok laki-laki bertubuh jangkung yang sedang menyusuri
deretan buku-buku di lemari buku sastra. Laki-laki itu memakai kacamata dengan
sentuhan warna hitam pada ganggangnya. Baju yang terangkai rapi dengan ketiga
lipatan di belakang membuatnya tampak semakin manis. Wajahnya terlihat datar
mengamati kalimat demi kalimat yang tertera pada sebuah buku. Terkadang senyum
simpul tergambar di wajahnya yang memberikan kehangatan dalam hatiku. Dialah
laki-laki yang membuat hari-hariku lebih berarti.
Segala informasi tentangnya, koleksi foto
yang kuambil dalam berbagai kesempatan saat ia sedang beraktifitas serta
profilnya telah kuabadikan dalam secarik kertas yang tertempel rapi di majalah
dinding kamarku yang hanya berukuran sekitar 1 x 0.5 m. Mario Dinata, siswa
terfavorite yang tiap tahunnya meraih Peringkat I Umum sehingga menjadi idaman
para wanita, siswa kelas XI IPA 4, berumur 17 tahun 4 bulan, tinggi 178 cm dan
berat 50 kg, kulit kuning langsat dengan sentuhan alis yang tebal, motornya
bermerk Mio Soul berwarna hijau dengan nomor kendaraan DD 3867 NS dan masih
banyak lagi informasi-informasi detail tentangnya yang membuat majalah
dindingku nyaris penuh. Bahkan berita tentang kedekatannya dengan Kirana
Cantika, sekretaris OSIS di sekolahku juga tak luput dari coretan penaku pada
lembaran kertas warna-warni di mading kamarku. Kirana Cantika memang wanita
yang cantik dan pintar. Lelaki manapun tentu akan tertarik dengannya, termasuk
Mario. Namun sebelum melihat dengan mata kepalaku sendiri, aku tidak percaya
dengan kabar yang memberitakan adanya hubungan special antara Mario dan Kirana.
Keesokan harinya pada saat istirahat, aku
melihat Mario sedang mondar mandir di depan ruang guru. Wajahnya menyiratkan
kebingungan. Aku tersenyum kecil melihat langkahnya yang pontang-panting, ia
tampak sangat lucu. “Mungkin ini saatnya Tuhan, mungkin aku harus memberikan
isyarat tentang perasaanku kepadanya.” Beberapa tumpukan buku ditanganku sengaja kujatuhkan di hadapannya,
berharap dia akan membantuku membereskan buku-buku tersebut. Namun harapanku
pupus, ketika sesosok wanita yang sudah tidak asing lagi bagiku meraih
tangannya kemudian mengajaknya pergi dari tempat tersebut dengan terburu-buru.
Dalam hitungan detik, Kirana dan Mario berlalu tanpa mempedulikanku yang tengah
kesusahan membereskan buku-buku yang berserakan di lantai. Apakah dia tak peduli
padaku ? Apakah aku hanyalah butiran debu yang tak berarti baginya? Hati
kecilku menangis.
Perjuanganku tak berakhir karena kejadian
pahit tersebut. Sore hari, ketika aku mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di
sekolah, diam-diam aku menempelkan sebuah kertas yang telah dihiasi sedemikian
rupa pada majalah dinding sekolah. Sebenarnya, tidak ada yang istimewa dari
kertas tersebut. Hanya berisi lirik lagu yang berjudul “Mengejar Matahari” dan
pada sudut kanan bawahnya kutuliskan “Untuk MD” sebagai inisial namanya. Lagu
tersebut melambangkan bagaimana perasaanku padanya, seorang wanita yang tidak
istimewa yang menyukai lelaki istimewa. Mario bagaikan sebuah matahari, yang
senantiasa memancarkan sinarnya, memberikan kehangatan di muka bumi ini, membuat
semua orang mengaguminya. Dan aku sadar, aku bagaikan tanaman kecil dibarisan
paling belakang sedang menanti cahaya matahari yang tak kunjung datang. Namun,
aku yakin suatu saat nanti dapat memperoleh cahaya matahariku.
Pikiranku mulai menerawang jauh mencoba mengamati
perjuanganku selama ini. Aku sadar Mario pasti tidak mengerti makna dari lagu
yang kutulis dalam secarik kertas tersebut. Aku hanya berharap ia membaca lagu
tersebut meskipun hanya sesaat. Tiba-tiba lamunanku pecah akibat sebuah pemandangan
yang cukup menyakitkan hatiku. Di hadapanku, aku menyaksikan Mario dengan
sepeda motornya yang masih berkilau dan belum lecet sedikitpun menggandeng
Kirana. Mereka terlihat mesra. Bahkan tangan kanan Kirana melingkar di pinggang
Mario. Apakah benar mereka berpacaran ? Apakah kabar yang kuterima selama ini bukanlah angin lalu belaka ? Hatiku mulai
melakukan penyangkalan namun pikiranku mencoba menerjemahkan kebenaran dari
informasi yang kuperoleh sebelumnya. Tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundakku, “Sudah
aku katakan. Mereka berdua itu sepasang kekasih. Kamu nggak peduli sih !”, sahut Anji yang turut menjadi penyebar berita tentang
Mario dan Kirana . Tanpa kusadari, hatiku yang seolah retak turut mengajak
kakiku untuk berlari secepatnya menuju rumah. Untung saja, jarak rumahku tak
jauh dari sekolah hanya sekitar 100 meter.
Sesampainya di rumah, aku segera mengunci
diri di dalam kamar. Aku tak kuasa lagi menahan tangis. Tanganku mencoba
membuka laci meja belajar secara perlahan. Aku ingin mengambil selembar kertas
berwarna untuk menuliskan suasana hatiku saat ini. Namun tiba-tiba saja tulang
pergelangan tanganku terasa nyeri bahkan sulit digerakkan. Tanpa sengaja aku
menjatuhkan laci tersebut sehingga berbagai lembaran kertas di dalamnya ikut
terjatuh dan berserakan di lantai. Aku tidak mengerti mengapa tanganku seolah
tak mendengarkan perintahku untuk membereskan kertas-kertas yang berserakan.
Pandanganku tiba-tiba tertuju pada
sebuah amplop yang berlogo Rumah Sakit Umum Tenriawaru Watampone. Amplop
berwarna putih tersebut tak asing lagi bagiku bahkan amplop tersebut pernah
menjadi bagian dari kisah suramku. Perlahan aku membuka amplop tersebut lalu
menarik selembar kertas yang terdapat di dalamnya. Aku mengamati kata demi kata yang tertera
pada kertas tersebut. Mataku kembali berlinang air mata saat membaca sebuah
kalimat “Anda dinyatakan positif terjangkit Leukemia Limfositik Kronis”.
Tuhan, ingatanku kembali pada masa lalu.
Masa yang penuh dengan penderitaan dan tangisan. Disaat seorang dokter
menyiratkan wajah prihatin padaku. Seorang remaja berusia 15 tahun yang
terjangkit Leukemia yang lebih akrabnya disebut Kanker Darah Putih. Salah satu
jenis kanker di dunia yang menyerang sel darah putih yang diproduksi oleh
sumsum tulang sehingga mengakibatkan sel darah putih berkembang tidak normal
atau abnormal. Penyakit ini cukup mematikan, bahkan Dokter telah menyatakan
umurku hanya tinggal beberapa bulan lagi. Namun Tuhan berkata lain, ia
menganugerahkanku orang tua yang sangat menyayangiku dan setia mendampingiku,
serta seorang lelaki yang secara tidak langsung menjadi semangat hidup bagiku.
Dialah Mario, aku selalu berharap untuk dapat bersamanya suatu saat nanti.
Keinginanku itu membuatku berusaha untuk bertahan. Bahkan aku semakin giat
belajar, agar dapat menunjukkan citra yang baik kepadanya meskipun dalam
kondisi yang lemah. Kini, keadaan berkata lain. Mario bukanlah untukku dan
hanyalah bayangan semu bagiku. Dengan hati yang tidak begitu rela, aku mulai
berusaha untuk melupakannya. Ia telah bersama dengan orang lain. Dia tidak
membutuhkanku dan aku harus berusaha untuk menghindarinya.
Tiba-tiba setetes darah menetes pada
kertas hasil diagnosa tersebut. “Ya Allah, aku mimisan lagi,” batinku. Aku
segera menuju toilet dan membersihkan darah segar yang keluar melalui hidungku.
Tubuhku terasa sangat lemah, kepalaku sakit, semua tulangku terasa nyeri,
napasku semakin sesak dan kini muncul jentik merah dengan ukuran bervariasi
pada kulitku. Ayah dan Ibu mulai menyadari keadaanku ketika mendengar sebuah
suara aneh terdengar dari kamarku. Mereka pun segera membawaku ke rumah sakit
terdekat. Sesuai dugaanku, dokter mendiagnosa bahwa penyakit leukimiaku yang
kronis dan sempat memberikan tanda-tanda kesembuhan telah memberontak kembali
dan kini menjadi lebih akut. Akhirnya dokter memutuskan agar aku dirawat di
rumah sakit.
Selama berada di rumah sakit, keadaanku
tidak kunjung membaik. Bahkan penyakit itu semakin melakukan perlawanan
terhadap segala bentuk pengobatan yang diberikan kepadaku. Namun disaat-saat
kritis seperti itu, aku memutuskan untuk dirawat di rumah. Aku ingin segera
berada di kamarku dan merasakan kembali atmosfer kehidupan yang nyata tanpa
adanya rasa sakit atau tangis.
“Dini, jika itu keinginanmu. Ayah dan Ibu
tak bisa menolak.” Akhirnya ayah memenuhi keinginanku meskipun dengan sedikit
paksaan olehku. Aku senang dapat menginjakkan kaki di rumah. Kini aku dapat
melupakan segala kesakitan yang kurasakan. Namun pada kenyataannya, setiap
malam aku tetap mengalami demam dan mimisan. Kelenjar getah bening pada leher
dan ketiakku mulai mengalami pembengkakan diiringi dengan tubuhku yang semakin
kurus. Meskipun hanya terbentur oleh benda-benda yang tidak begitu keras,
tubuhku dapat menyisakan luka lebam dan setiap menggosok gigi gusiku selalu
saja berdarah. Dalam kondisi yang cukup lemah, akupun mencoba meraih sebuah
buku yang kuletakkan di atas meja belajarku sehari sebelum aku dilarikan ke
rumah sakit. Aku tersenyum melihat buku tersebut, “Kau akan berada di tangan
yang tepat”, kataku pada buku tersebut seolah buku yang menyerupai album foto
itu adalah seorang manusia yang dapat berinteraksi denganku.
Aku merasa hidupku sudah tidak lama lagi,
aku merasa napasku hanya tinggal beberapa menit lagi. Aku merasa lelah, aku
ingin beristirahat dengan tenang. Aku tidak ingin lagi merepotkan ayah dan ibu. Aku pun segera
memanggil kedua orang tuaku. “Ayah, Ibu,” sahutku dengan suara yang
samar-samar. Ayah yang sedari tadi menjagaku di kamar dan Ibu yang baru saja kembali
dari dapur segera mendekatiku. “Ada apa anakku ?,” seru mereka hampir
bersamaan. “Ayah, Ibu aku ingin meminta bantuan kalian,”. “Silahkan saja Dini
!”sahut ayah. “Tolong Yah, Bu. Berikan buku ini pada seorang lelaki bernama
Mario Dinata ketika ia datang menjengukku.” Ayah dan Ibu hanya mengangguk lesu
sambil menggenggam tanganku. “Ayah, Ibu. Jangan khawatir ! Aku selalu bersama
kalian, di dalam hati kalian,”. Ayah dan Ibu kembali mengangguk disertai dengan
isak tangis. “Jaga hati kalian ! Karena aku akan selalu ada disana,”tambahku.
Beberapa detik kemudian, aku tersenyum lalu menghembuskan napas terakhir.
*------*
Mario ...
Pagi itu, sekolah tiba-tiba gempar dengan
sebuah pemberitahuan yang disampaikan langsung oleh kepala sekolah. Beliau mengatakan
bahwa seorang Siswa SMA Negeri 156 Watampone yang bernama Dini Riskayanti telah
berpulang ke Rahmatullah dan para murid diperintahkan untuk segera melayat ke
kediaman Almarhumah. Aku sendiri tidak begitu mengenal pemilik nama yang
disebutkan tadi. Sekilas ingatanku memberikan bayangan, mungkin saja Dini
Riskayanti itu adalah wanita yang selama ini selalu bertingkah aneh ketika
berada di dekatku. Aku juga tidak mengerti dengan segala tindakan wanita itu.
Dia memang sangat aneh. Namun, sebagai bentuk penghormatan terakhir, akupun
ikut melayat ke kediaman Almarhumah.
Beberapa menit kemudian aku memutuskan untuk
kembali ke sekolah dan tidak mengikuti acara pemakaman jenazah. Namun sesosok
tubuh yang diselimuti pakaian dan selendang berwarna hitam menahanku. Menurut
informasi yang kuperoleh tadi, orang itu adalah ibu dari Almarhumah. “Nak, kamu
yang bernama Mario Dinata?”tanyanya. “I..... Iya Bu,”jawabku gugup. “Ini ada
kenang-kenangan untukmu dari Dini,”. Ibu itu pun segera berlalu. Dengan wajah yang
sedikit bingung, aku mengamati bingkisan yang diberikan oleh Ibu tadi. Aku
memutuskan untuk membukanya ketika sampai di sekolah.
Sekolah masih tampak sepi, hanya ada
sekitar 12 siswa yang juga telah kembali dari rumah duka. Sambil menikmati
sebotol softdrink dan duduk melantai
di taman sekolah, aku mulai membuka bingkisan yang diberikan kepadaku oleh
orang tua Dini. Perlahan, aku melepaskan pita perekat yang direkatkan pada
bingkisan tersebut. Ternyata isinya adalah sebuah buku yang berjudul Kasih Tak
Sampai. Aku pun mulai membuka halaman demi halaman pada buku tersebut. Di
dalamnya terdapat foto-fotoku dalam berbagai pose, profil lengkapku, dan
informasi-informasi menarik lainnya tentangku. Diantara lembaran-lembaran
halaman yang berisi foto tersebut juga terselip puisi indah yang khusus
dibuatkan Dini Riskayanti untukku. Sebuah puisi yang mengungkapkan perasaannya
padaku selama ini. Air mataku mulai menetes ketika membaca sebuah kalimat, “Aku
masih sanggup menunggumu lebih lama. Namun, mungkin waktuku tidak akan mampu.
Meskipun kau tidak pernah mengenal dan menyayangiku, aku tetap bersyukur karena
telah diberi kesempatan untuk mengenal dan menyayangimu. Matahariku,”
Di bawah tulisan tersebut, terdapat
sebuah goresan pena, sebuah puisi indah dan penuh makna yang menimbulkan rasa
penyesalan dalam hatiku.
Mungkin dia tidak akan tahu
Betapa aku memujanya
Mungkin dia tidak akan tahu
Betapa ku sangat merindukannya
Mungkin dia tidak akan tahu
Aku sepi tanpanya ..
Mungkin dia tidak pernah tau
Bagaimana aku mencintainya
Mungkin dia tidak pernah tahu
Telah lama kupendam rasa ini ...
Namun dia harus tahu ..
Cintaku tak lekang oleh waktu
Ku akan selalu menyayanginya
Walau perih yang kurasa
Ku akan selalu mencintainya
Dalam sisa hidupku
Biarkanlah cinta ini abadi
Meski dia tidak akan pernah tahu
..
“Betapa besar pengorbanan seorang Dini
Riskayanti kepadaku. Aku minta maaf karena tidak mampu membalas perasaanmu. Aku
minta maaf karena seringkali mengabaikanmu. Aku minta maaf karena telah
menyakitimu. Aku minta maaf karena telah membuatmu menunggu.” Rasa bersalah
timbul di benakku.
Kini aku berjanji untuk selalu
membahagiakan orang-orang yang menyayangiku. Aku sadar, bahwa merekalah yang
terpenting bagiku. Aku akan membuat Dini bangga terhadapku. Dini, kamu akan
menjadi kenangan yang indah dalam hidupku. Meskipun tidak banyak waktu yang
kita lalui bersama. Sejak itu, aku sering mengunjungi makam Dini dan meletakkan
sepucuk surat yang berisi karya-karya puisiku di atas batu nisannya. Untuk
seseorang yang kini telah dipeluk bumi dan tidur dalam diam, terima kasih untuk
seluruh cinta. J
~THE END~
Author
: Reny Kartini
with Nuraini
contact
: http://www.renykartinixdua@yahoo.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sebelumnya telah berkunjung ke my blog "Anak Bangsa Berkarya".
Berkunjung lagi ya kali lain! Silahkan memberi komentar atas postingan yang ada!