Suasana sekolah hari
ini nampak lebih sibuk. Setiap mata pelajaran ditugasi pekerjaan rumah yang
menumpuk. Bagiku hari ini hari yang menyebalkan. Bangun pun harus lebih awal
dari biasanya, tidak boleh terlambat karena tidak akan ada waktu untuk menyalin
pekerjaan teman, tak ada seorang siswapun yang berani tidak mengerjakannya
termaksud aku. Pukul 06.30 aku sudah duduk dibangku paling depan bagian tengah
dengan menggenggam sebuah pulpen dan lima buku di depanku. Saat itu tak ada
satupun yang boleh menggangguku bahkan untuk memanggil “Dinda” namaku sendiri tidak akan ku pedulikan.
Walaupun yang memanggilku itu mereka yang kusebut sebagai sahabatku, kecuali
dia yang ku sebut cinta. Kalau bicara tentang dia dunia terasa berhenti.
Wajahnya mengalihkan duniaku, senyumnya bagai secercah semangat dalam hidupku,
matanya indah bagai cahaya, dia adalah cinta yang mampu melumpuhkan ketangguhan jiwaku.
“Dinda, kamu jadi nyalin
tugas rudi? Kalau tidak, aku pinjam!”
“Eh apa sih kamu Rin, aku
belum selesai.”
“Kamu sih disuruh nyalin,
eh senyum-senyum sambil tutup mata kirain kamu kesurupan.”
“Ah, kamu bayangannya
sembarang deh, kaya gini aku juga rajin shalat.”
“hahaha, siapa suruh!!
Orang sekelas tadi ketawain kamu semua. Muka kamu lucu banget kaya tadi.”
“ah, udah deh. Jangan
gangguin aku ngerjain tugas bentar lagi bel masuk, aku belum selesai.”
“siapa suruh ngelantur
pagi-pagi hahahaha”
Tringggggggggg...... bel
masuk pun berbunyi. Waktunya memulai pertempuran atau dengan kata lain mulailah
ajang persaingan antar siswa di kelas. Semuanya sudah komplit dari yang cerdas,
pintar, pede, pemalu, hingga yang malas pun ada. Si cerdas yang jawabannya
berdasarkan otaknya sendiri, si pintar yang jawabannya berdasarkan rumus, si
pede yang jawabannya sok benar walaupun salah tidak mau terkalahkan, si pemalu
yang hanya menjadi penonton, dan si malas yang sibuk berfikir cara untuk izin
keluar kelas. Semua tercampur menjadi satu. Tapi kalau si dia menurutku pintar
seakligus cerdas, pokoknya bagiku dialah kesempurnaan bagiku. Serasa Ia telah
terukir di hatiku untuk selamanya.
“Astaga senyum itu”
terkejutku dalam hati.
Tanpa ku sadari aku dan
Dia saling menatap, dua bangku dibelakangku tepatnya senyum itu menghampiriku.
Tak mampu ku lukiskan indahnya dunia saat itu. Tanpa tersadari wajahku ternyata
memerah, tingkahku pun aneh, keringat dingin membasahi tubuhku, jantungku pun
berdetak lebih cepat, hingga tanganku mampu memecahkan pulpen yang sedang
kugenggam. Rasa yang sangat hebat bagiku.
“Dinda!! Apa yang kamu
perhatikan?”
“Tidak bu, aku ingin
meminjam pulpen Rini, karena pulpenku rusak bu.”
“Tolong perhatikan di depan Dinda!!”
“Tolong perhatikan di depan Dinda!!”
“Baik bu.”
“Getaran!!! Apa itu?”
tanyaku dalam hati. Ternyata hpku bergetar dalam saku rok abu-abuku, padahal
aku kira bangkuku pun bergetar karena merasakan jatuh cinta. Ku ambilnya ponsel
itu dengan perlahan agar tidak ketahuan dengan guru. “Nomor baru? Siapa yang
kira-kira berani menghubungiku saat mata pelajaran berlangsung?” kataku dalam
hati.
Kamu orangnya lucu yah, haha.
Maaf ya gara-gara aku kamu dimarahin guru.
Sebagai permohonan maafku maukan aku traktirin bentar malam?
Tolong mau yah..
Dari:Febri
Maaf ya gara-gara aku kamu dimarahin guru.
Sebagai permohonan maafku maukan aku traktirin bentar malam?
Tolong mau yah..
Dari:Febri
Itu cinta. Dia
mengirimkanku pesan, astaga Tuhan inikah yang namanya keajaiban? Cinta itu
datang dia mengajakku makan berdua. Dan kini aku tak mampu membalasnya, aku tak
tau mesti berkata apa kepadanya. Serasa perjalanku hingga SMA ini sia-sia
karena hari ini, tiba-tiba aku jadi orang bodoh yang tidak dapat berkata-kata.
Aku tak mampu menolaknya namun aku bingung bagaimana mengungkapkannya.
Ga papa febri
Itu hal biasa kok
Yaudah iya aku terima ajakan kamu
Dari:Dinda
Itu hal biasa kok
Yaudah iya aku terima ajakan kamu
Dari:Dinda
Malam indah ditemani sinar rembulan yang menampakkan dirinya menambah
keromantisan suasana malam ini, tepatnya di kursi merah ini engkau dan diriku
duduk menikmati indahnya suasana malam. Senyum itu kini nampak semakin dekat
dihadapanku. Hari yang tadinya aku kira hari paling menyebalkan berubah menjadi
hari yang sangat berharga dalam hidupku. Pertama kalinya aku duduk berdua
dengannya, yang ku sebut cinta. Ada hal baru yang kini ku dapatkan darinya, dia
sosok yang bersahabat dalam bercerita, semakin membuatku terpanah. Malam itu
terukir dengan tawa, senyum, keindahan, dan yang terpenting hari itu hari yang
sangat penuh dengan kebahagiaan. Diriku tak mampu memceritakan apa yang ku
rasakan saat ini, diriku terpaku dalam suasana romantis itu. Saat cahaya
kegelapan malam semakin menampakkan dirinya tiba-tiba terdengar namaku disebut
dengan halus dan pelan, itu ternyata Febri. Febri memanggilku membuat hatiku
semakin berdetak dengan hebatnya.
“Apa Feb?” jawabku dengan
pelan serta tersenyum.
“Aku ga tau mau bilang apa, aku ga tau berkata-kata indah untukmu Din. Tapi aku hanya ingin mengungkapkan kalau aku sayang kamu sejak dulu. Aku mengagumi Din namun aku tak punya nyali untuk ungkapkan itu. Kini saatnya aku bilang itu karena aku tidak bisa untuk menahan rasa ini lagi.”
“Feb, walaupun kamu bukan suatu keajaiban yang bisa membuat bumi ini indah tapi bagiku kamu lebih dari itu. Aku juga sayang kamu Febri.”
Febri pun memerikanku sebuah kalung liontin dan mengenakan di leherku. Ia pun berkata “Fin, sejak malam ini aku janji ga bakal ninggalin kamu.” Dinda pun tersenyum haru mendengarnya dan berkata “Terima Kasih Feb”.
“Aku ga tau mau bilang apa, aku ga tau berkata-kata indah untukmu Din. Tapi aku hanya ingin mengungkapkan kalau aku sayang kamu sejak dulu. Aku mengagumi Din namun aku tak punya nyali untuk ungkapkan itu. Kini saatnya aku bilang itu karena aku tidak bisa untuk menahan rasa ini lagi.”
“Feb, walaupun kamu bukan suatu keajaiban yang bisa membuat bumi ini indah tapi bagiku kamu lebih dari itu. Aku juga sayang kamu Febri.”
Febri pun memerikanku sebuah kalung liontin dan mengenakan di leherku. Ia pun berkata “Fin, sejak malam ini aku janji ga bakal ninggalin kamu.” Dinda pun tersenyum haru mendengarnya dan berkata “Terima Kasih Feb”.
Malam kini berganti menjadi pagi, kini aku dan dia berubah menjadi
kekasih. Saling berjanji untuk saling melengkapi dan melindungi hingga takdir
memisahkan kita.
“hai Dinda, pacar baru ni yeh.”
“hai Dinda, pacar baru ni yeh.”
“Apaan sih kamu Rin, hahaha. Rin aku sayang banget ma
dia. Aku bahagia bisa dapetin dia dihidupku.”
“Iya Dinda, kamu sama
Febri yang langgeng yah pacarannya. Aku selalu mendoakan mu.”
Rini memang sahabat sejak
15 tahun yang lalu, aku dan Rini pun bersebelahan rumah, apapun tentangku dan
apapun tentangnya kami saling berbagi. Suka duka kami lewati bersama. Termaksud
tentang Febri semua tentang hubungan ini selalu ku ceritakan pada Rini. Aku
percaya Rini adalah sosok sahabat yang setia bagiku.
Hari demi hari pun berlalu, semakin hari Febri menampakkan perubahan di
dirinya. Cinta itu terasa semakin menjauh. Cinta yang dulunya senantiasa
menyejukkanku dalam keseharianku kini terasa semakin gersang. Kesepian itu pun
datang ketika cinta itu menghilang. Ia tidak masuk sekolah tanpa alasan. Ia
tidak mengabariku. Cahaya yang dulunya selalu menerangiku tiba-tiba redup dalam
kegelapan. Kemana Ia? Aku mengkhawatirkanmu. Setiap sms bahkan telfon dariku
engkau tidak membalasnya. Walaupun begitu, aku yakin engkau akan kembali. Aku
akan tetap menunggumu.
Tiba-tiba sms dari Febri,
hatiku sangat bahagia mendapat smsnya.
Iya Rini, haha kamu lucu banget sih. Aku
kagum deh sama kamu.
Ini bukan untukku. Air
mata ini pun menetes, kekecewaan itu kini menyelimutiku.
Apa maksud kamu feb?
Kini smsku tak terbalas
lagi. Aku akan tetap menunggu. Itu pasti bukan Rini Pricilia sahabatku, tidak
mungkin Ia begitu kepadaku. Aku menyayanginya dan Ia pun menyayangiku, tidak
mungkin Ia mengecewakanku. Aku harus bersabar.
Feb, apa sih salah aku sama kamu? Aku
minta maaf kalau aku punya salah ke kamu. Tolong jangan gantungin aku gini.
Kamu masih anggap aku ga?
Febri akhirnya membalas
sms itu :
Gak. Maaf Din orang tua ku gak
ngebolehin aku pacaran. Hubungan ini sampai sini aja yah.
Kini aku tak dapat lagi
berkata sekata pun. Ada satu hal yang tiba-tiba muncul dibenakku. Aku melangkah
menuju rumah Rini dengan air mata yang tertahan didadaku, rasanya tak mampu
menggambarkan luka itu. Rini ternyata tertidur dan ibunya pun membuka pintu dan
mempersilahkanku masuk ke kamar Rini. Aku tak berniat membangunkannya. Aku
melihat tergeletaknya ponsel Rini di atas meja, aku ingin membuktikan kebenaran
sms itu, nama itu yang selalu membayangiku. Ternyata ponsel Rini penuh dengan
sms dan telfon Febri. Mereka pacaran, aku tak menyangka Rini tega melakukan ini
padaku. Aku berlari kembali ke rumahku, kumenangis dan terus menangis, sungguh
aku tak dapat menahan betapa sakit dan perihnya ini, hati yang mereka tusuk
dengan sejuta nestapa. Nyawa terasa tercabut begitu cepat, tubuhpun terasa
terpecah. Betapa tega mereka membohongiku selama ini. Rini yang ku sebut
sahabatku suka dan duka kini menusukku. Kesabaranku menunggu Febri ternyata Ia
berbahagia dengan sahabatku sendiri dan menyembunyikannya dibelakangku.
Dengan perasaan lemah dan
perih, ku tuliskan sebuah surat untuk Rini dan Febri, akan kuletakkan sepucuk
surat itu pada kalung yang telah Febri berikan dan akan ku beri pada Rini.
Tuhan, aku akui aku salah melakukan ini tapi aku ingin mereka bahagia tanpaku,
maafkan aku Tuhan. Aku ingin melihat mereka bahagia, kehadiranku hanya membuat
mereka bersandiwara. Cinta takkan berarti dengan kepalsuan dan mereka tidak
akan merasakan keindahan itu dengan kehadiranku. Kini kugoreskan pisau tepat
pada pembuluh nadiku, kini aku pergi. Kini aku berada di dunia fana yang jauh
berbeda dengan dunia yang dulu ku jalani. Selamat tinggal semuanya.
Kini waktu pemakamanku,
Febri dan Rini tiba di rumahku, mereka kini melihat titipan surat dan kalung
untuknya.
Untuk Febri dan Rini,
Sosok yang ku sebut sahabat sejatiku dan
dia sosok yang ku sebut cinta. Namun, kini cinta itu membunuhku. Cinta yang
semula kukagumi kini mengkhianatiku. Kesetiaanku kini terhancurkan, aku
terbohongi. Aku terluka dan ini sakit. Cukup aku yang kau jadikan seperti ini,
cukup aku. Kini aku pergi untuk kalian. Aku ingin melihat kalian bahagia tanpa
kehadiranku. Kehadiranku hanya melukis kepalsuan itu. Terima kasih sudah
menjadi bagian hidupku. Febri, tolong jaga Rini, dan Rini tolong jaga Febri. Cinta
itu akan tetap ada sampai kapanpun. Semoga suatu hari nanti Tuhan mempertemukan
kita lagi ditempat yang penuh keindahan.
Aku yang mencintaimu
Dinda
Dinda
“Dinda, kembalilah. Aku
menyesali semuanya. Maafkan aku, aku akui kesalahan dan pengkhianatanku, kini
aku menyadari semuanya. Dinda aku ingin kamu kembali .” Kata Febri sambil
memeluk tubuh Dinda.
“Dinda, aku sayang kamu.
Maafkan aku yang merebut semuanya. Andai waktu dapat ku putar, aku tak akan
melakukan ini. Aku ingin kau kembali menjadi sahabatku. Kembalilah Dinda, kita
ukir kenangan indah pesahabatan kita lagi.” Ujar Rini yang berteteskan air
mata.
Kini tubuhku telah
dipeluk bumi. Tak ada yang bisa disesali, tak ada yang bisa ditangisi, kini
semuanya telah berakhir. Sakit hati itu hilang seiring kepergianku. Berbahagialah,
aku turut berbahagia disini. Aku akan menyayangi kalian hingga kapanpun.
Author : Andi Titin
Suhartina Rahman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sebelumnya telah berkunjung ke my blog "Anak Bangsa Berkarya".
Berkunjung lagi ya kali lain! Silahkan memberi komentar atas postingan yang ada!