Pukul 7 pagi tak seperti biasanya, cahaya matahari yang biasa
bersinar dengan lembut nan teduh kini berubah menjadi mendung. Seperti hatiku
saat ini. Dulu, pagi-pagi buta aku telah bersiap untuk mencari ilmu di bangku
sekolah. Namun, sekarang aku hanya dapat memandang sekumpulan besi panjang yang
terangkai rapi dengan kuat. Berdiam diri ditempat yang terasa sesak dan
menyengat, seperti hidupku yang telah digenggam kegelapan malam.
Aku merasakan pahitnya hidup di
tempat ini, tempat berkumpulnya para nyawa yang telah di genggam oleh tubuh
mereka sendiri. Ya... aku berada dalam jeruji besi. Menghadapi berbagai rupa
yang tersembunyi dibalik kabut hitam maupun kabut putih. Dan aku menjadi salah
seorang dari mereka, yang bersembunyi di balik kabut hitam maupun kabut putih.
Dan aku menjadi salah seorang dari mereka, yang bersembunyi di balik kabut
hitam. Menjadi seorang yang merenggut nyawa ayah tirinya sendiri. Seorang ayah
yang hanya dapat meminta uang, memukul, mencaci maki, bahkan membuat ibuku
terbaring lemah tak berdaya.
Terbayang olehku, sosok wanita
lembut yang telah renta. Wanita yang dulu selalu berada disampingku, setiap
hari membelai dan mencium keningku ketika hendak tenggelam dalam pangkuan
malam, membangunkanku di tengah kesunyian malam untuk mengucapkan lafadz-lafadz
indah kepada-Nya, dan selalu berusaha membuatku menjadi raja untuknya. Beliau
adalah Umi Salamah, ibu yang telah melahirkanku sekaligus ayah yang telah
merawat dan membesarkanku.
Tiba-tiba khayalanku lenyap, seorang
pria berbadan kekar dengan kumis tipisnya telah berada didepanku dan menatapku
dingin tanpa aku sadari sejak kapan dia berdiri.
“ Ada apa pak? ”
“ Ada yang ingin bertemu denganmu! ”
“ Tapi, ini belum waktu besuk pak? “
“ Sudah, jangan bayaka tanya. Cepat keluar!”
Aku hanya mengikutinya dengan
perasaaaan yaang penuh tanya. Disudut ruang besuk, aku melihat sosok pria yang
tidak asing lagi. Dia adalah Dimas, adikku. Aku langsung berlari kepadanya dan
memeluknya erat.
Bahuku tiba-tiba basah oleh air
matanya, aku semakin bingung melihatnya. Datang pagi-pagi sendiran di tempat
yang tidak seharusnya dia datangi.
“ Dimas, ada apa dek? “
“ Ibu telah menghadap Tuhan kak... “
Tubuhku bergetar, jiwaku melayang
didalam dunia fantasi kehancuran, seperti mendapatkan sebuah hantaman yang
sangat keras. Tidak... sangat, sangat, dan sangat keras. Harapanku untuk tetap
bertahan di tempat ini, kini menjadi sebuah puing-puing kaca yang telah pecah.
Waktu terus berlalu, kejadian pahit
yang merubah hidupku kujadikan sebagai obat untuk tetap bertahan ditempat ini.
Seiring waktu yang terus berjalan, tidak ada perubahan dalam diriku tetap
seperti dulu yang hanya dapat berharap dan berdoa kepada sang Ilahi untuk
menjaga ibuku di Surga.
Author
: Sabrianah
Badaruddin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sebelumnya telah berkunjung ke my blog "Anak Bangsa Berkarya".
Berkunjung lagi ya kali lain! Silahkan memberi komentar atas postingan yang ada!